Di balik kesibukan seluruh team Lazada Indonesia untuk menghadirkan pengalaman berbelanja online terbaik di Indonesia, ada team People yang membangun system untuk memastikan semua karyawan bekerja dengan sebaik-baiknya. Adalah Lusi Lubis yang memimpin team People tersebut sejak Juli 2017. Mengelola sekitar 400 karyawan yang 90 persen di antaranya adalah millenials, tentu mempunyai tantangan tersendiri. Lusi sendiri yang mempunyai pengalaman 20 tahun bekerja sebagai konsultan manajemen mengaku pada awalnya perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun dengan sikapnya yang luwes dan tidak jaim, Lusi berhasil menjawab tantangan serta blend in dengan dunia startup yang kental dengan nuansa casual, open space, dan no hierarchy. Salah satu kuncinya adalah become approachable. Jadi HR jangan jaim, demikian ujar Lusi Lubis.
Kami pun meminta komentar beliau atas beberapa hal berikut ini:
Dunia korporasi vs Dunia Startup?
Menurut saya yang paling kerasa beda itu adalah dalam hal cara bekerja. Kalau di dunia startup,—walaupun saya rasa Lazada sudah tidak entitled to be called startup lagi, karena kita sudah memasuki tahun keenam—yang penting jalanin. Sedikit salah tidak apa-apa, banyak trial and error. Tidak masalah bila design belum selesai, bisa langsung diimplementasikan. Walaupun nanti pasti akan banyak tweaking along the way. Lebih mending itu daripada tunggu sampai rapi baru diimplementasikan. Karena toh bisa jadi sambil jalan strategi akan berubah, karena faktor market, teknologi, dan lain-lain. Kenapa mesti menunggu. Kalau engga begitu nanti gak jalan-jalan. Nah kalau dunia korporasi berbeda. Memang ada pro dan kontranya. Di korporasi compliance-nya bagus, checking-nya juga bagus. Risk diminimalisir. Saya tidak mengatakan mana yang lebih bagus atau lebih benar, tapi mana yang tepat dengan situasi yang ada.
Managing millenials?
Saya senang managing millenials. Mereka itu very self motivated. They are very good, actually. Cuman memang mesti ada pendekatan tersendiri. Mereka itu membutuhkan feedback yang cepat. Immediate feedback, apakah mereka bagus atau tidak. Evaluasi kinerja mereka secara regular, tidak bisa menunggu review bulanan. Hal ini juga bagus untuk organisasi, jadi jika ada karyawan yang memang tidak cocok dengan direction perusahaan kita tidak perlu tunggu lama-lama. Memang ada konsekuensinya. Konsekuensinya kita harus komunikasi lebih sering dan juga turn over bisa jadi tinggi juga. Millenials gak semuanya sama. Ada juga yang suka pekerjaan rutin, misalnya. Ada juga yang suka to do list. Padahal di kita very unstructured, you have to define your own to do list. Itu salah satu contoh. Saya rasa tidak ada yang berubah. Old theories still apply, hanya frekuensi dan magnitude-nya berbeda.
HR & Technology?
Karena kita berada di industry teknologi, otomatis dari People juga harus membuat environment yang digital technology juga. Kalau kita tidak talking the same language, mereka akan melihat kita ini gak nyambung. Contohnya sekarang aplikasi Lazada sudah menggunakan AI (Artificial Intelligence), kita pun harus keep up. HR harus keep up dengan teknologi. Yah memang sih di HR saya akui kita masih perlu banyak improvement (dalam penggunaan teknologi), tetapi paling tidak pemahaman kita tentang teknologi. Tentang bagaimana kita mengotomatisasikan, dan lain-lain. Pelan-pelan kita akan improve system kita, karena pastinya perusahaan juga prioritasnya (dalam investasi teknologi) bukan ke HR dulu, pasti ke core business dulu.
Dalam waktu dekat kita akan pakai teknologi untuk onboarding. Jadi sebelum karyawan masuk, dia sudah onboarding dulu. Biasanya kan onboarding pada day 1, atau day 2, day 3 dstnya. Ini kita coba onboarding sebelum masuk, sehingga pas day 1 udah bisa langsung up and running.
Untuk rekrutmen kita juga gunakan online assessment. Performance management kita juga pake system. Walaupun masih banyak banget PR kita, misalnya talent management, bagaimana men-systemkan.

One word to describe HR?
Awesome.
One word to describe startup?
Intense.
Tips untuk praktisi HR di startup/digital industry?
Mesti sangat creative, membuka diri, HR jangan hanya push HR theory, harus bisa melihat dari perspective luar. Outside-in. Mesti cukup berani untuk membuka diri. Karena gak gampang lho. Gak semua orang siap (untuk berubah). Karena kita tahunya selama ini modelnya begini. Sekarang musti siap untuk belok-belok sedikit, salah-salah sedikit, gak pa pa. Kita juga harus empathy. Semua orang bekerja keras. Kadang mendengar saja sudah cukup.